Vonis Daniel Tangkilisan: Pengadilan Gagal Menjadi Benteng Kebebasan Berekspresi
Aktivis Lingkungan Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan mengikuti sidang dugaan pelanggaran UU ITE di PN Jepara (foto Hasyim Asnawi-Ilustrasi Dodi)

Vonis Daniel Tangkilisan: Pengadilan Gagal Menjadi Benteng Kebebasan Berekspresi

Kamis, 4 Apr 2024

Siaran Pers ELSAM

Vonis Daniel Tangkilisan: Pengadilan Gagal Menjadi Benteng Kebebasan Berekspresi


 

Pengadilan Negeri Jepara dalam perkara Nomor Perkara 14/Pid.Sus/2024/ Pn.Jpa memutuskan Daniel Tangkilisan bersalah dengan pidana 7 bulan penjara dan denda 5 juta atau subsider 1 bulan kurungan (4/4/2024). Sebelumnya, Daniel didakwa menggunakan Pasal 45A ayat (2) Juncto Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah menjadi UU No. 19/2016 (ujaran kebencian) atau dakwaan alternatif kedua adalah Pasal 45 ayat (3) Juncto Pasal 27 ayat (3) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No. 19/2016 (pencemaran nama baik). 

Dalam putusan tersebut, hakim menggarisbawahi penggunaan frasa “masyarakat otak udang” untuk membuktikan ujaran kebencian. Padahal masyarakat yang ditulis dalam sebuah komentar oleh Daniel Tangkilisan tidaklah merujuk pada masyarakat tertentu, sehingga dapat dimaknai luas dan tidak termasuk dalam golongan penduduk berdasarkan suku, ras, atau agama. Namun hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa komentar tersebut merupakan serangkaian komentar terdakwa, yang berkaitan dengan statusnya yang berkaitan dengan pencemaran di Karimunjawa. Oleh karenanya masyarakat tersebut, menurut Majelis Hakim, adalah masyarakat Karimunjawa. Mencermati vonis tersebut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menilai beberapa hal berikut ini:

Pertama, hakim keliru menganalisis unsur “menimbulkan kebencian atau permusuhan”. Hakim menilai bahwa konstruksi pasal ujaran kebencian tidaklah harus sampai menimbulkan kerusuhan dan kekerasan terhadap golongan tertentu. Menurut majelis, pasal ini dapat diterapkan terhadap Daniel Tangkilisan karena komentarnya telah menimbulkan rasa kebencian dan kubersinggungan bagi sekelompok orang. Unsur kebencian menurut hakim telah terbukti karena terjadi pro dan kontra di masyarakat Karimunjawa. Komentar terdakwa dianggap mengakibatkan kebencian karena terdapat sebagian kelompok masyarakat desa Kemujan dan desa Karimunjawa yang pro dan kontra terhadap tambak. Padahal, pro dan kontra terhadap tambak udang merupakan akibat langsung dari pencemaran yang dilakukan oleh industri ini, bukan akibat dari komentar Daniel Tangkilisan. Lebih lanjut, majelis menilai bahwa kemudian terdapat pro-kontra antara pendukung pariwisata dan pendukung tambak udang. 

Hal tersebut didukung dengan bukti adanya 75 orang warga yang menandatangani laporan terhadap Daniel Tangkilisan atas komentarnya di media sosial. Dalam penelitian yang dilakukan ELSAM di Karimunjawa, konflik kelas terjadi antara masyarakat pekerja tambak dan yang menggantungkan mata pencahariannya pada sektor pariwisata. 75 orang warga yang disebut majelis hakim, dalam penelusuran ELSAM, merupakan masyarakat yang terafiliasi pada tambak udang. Oleh karena itu, adalah keliru jika hakim melihat ujaran “masyarakat otak udang” itu menyinggung masyarakat Karimunjawa secara keseluruhan, sebab yang tersinggung hanyalah pelaku industri tambak udang saja. 

Padahal ujaran kebencian adalah ekspresi kebencian terhadap kelompok tertentu, yang digunakan untuk menghina seseorang atas nama kelompok orang tersebut, berdasarkan suku, etnis, agama atau lainnya yang menjadi cirinya. Pada umumnya berusaha untuk mengutuk atau mendiskriminasi individu atau kelompok tersebut, atau untuk mengekspresikan kemarahan, kebencian, kekerasan atau penghinaan terhadap mereka. 

Kedua, adanya simplifikasi hakim terhadap makna dari frasa “masyarakat otak udang”. Majelis menilai bahwa sikap Daniel Tangkilisan yang tidak membalas komentar lainnya yang bertanya perihal “masyarakat otak udang”, membuat Daniel dianggap mengiyakan komentar lain yang menyebut bahwa “Sayangnya, warga karimunjawa dan kemujan sendiri kurang kompak untuk menolak tambak, padahal kerusakan akibat tambak sudah nyata”. Hakim melakukan simplifikasi bahwa masyarakat yang dimaksud Daniel Tangkilisan adalah masyarakat Karimunjawa. Menurut hakim, jika terdakwa tidak bermaksud demikian, seharusnya ia membalas pertanyaan tersebut bahwa masyarakat yang dimaksud adalah oknum-oknum pelaku industri tambak udang. Oleh sebab itu, hakim menganggap pernyataan tersebut telah memenuhi unsur antar-golongan. 

Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 menyatakan istilah antar-golongan adalah semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama dan ras. Putusan tersebut tetap menjadi multi-tafsir karena semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi tetap dapat ditafsirkan secara luas dan bermacam-macam. Padahal semestinya entitas yang tidak terwakili tersebut dibatasi oleh elemen-elemen yang memungkinkan terjadinya diskriminasi terhadap golongan (bukan individu) tersebut, seperti kelompok minoritas seksual, minoritas agama, kelompok penyandang disabilitas. Keluasan tafsir itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh hakim untuk mengategorisasi ujaran Daniel Tangkilisan telah memenuhi unsur ujaran kebencian yang ditujukan pada antar-golongan penduduk tertentu. 

Penggunaan pasal ini juga semestinya tidak terlepas dari ketentuan Pasal 156 dan 157 KUHP yang salah satunya mensyaratkan  unsur terhadap golongan-golongan penduduk Indonesia (tursen of tegen groepen der bevolking van Indonesia). Unsur ini memberikan penekanan adanya sifat pada tulisan atau gambar yang mengadu domba antar-golongan yang memiliki akibat terganggunya ketertiban sosial. Sementara yang dilakukan oleh Daniel Tangkilisan tidak dalam rangka mengadu domba, namun untuk mengkritik pencemaran lingkungan oleh pelaku industri tambak udang. Mengenai golongan sendiri, penjelasan unsur Pasal 156 KUHP menekankan bahwa golongan mencakup tiap-tiap bagian dari isi negara Indonesia, berdasarkan watak suku bangsa, agamanya, asalnya, keturunan, kebangsaannya, dan kedudukan dalam hukum tata negaranya, bukan masyarakat pada umumnya.

Ketiga, hakim abai terhadap ketentuan Anti-SLAPP. Hakim menggunakan argumen Pasal 78 Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, kecuali: a. tidak ada alternatif lain atau pilihan tindakan lain selain perbuatan yang telah dilakukan; dan b. perbuatan dilakukan dalam melindungi kepentingan hukum yang lebih besar atau kepentingan masyarakat luas.

Hakim melihat bahwa Daniel Tangkilisan tidak memanfaatkan alternatif lain selain ujarannya melalui media sosial. Menurut hakim, mengunggah komentar dengan kata-kata “otak udang” dan menyinggung tempat ibadah tidak terjadi dalam keadaan tidak ada alternatif lain. Padahal Daniel Tangkilisan telah memperjuangkan lingkungan sejak lama, sebagaimana juga diakui oleh hakim dalam pertimbangannya, yang justru membuktikan bahwa upaya-upaya lain telah dilakukan oleh Daniel Tangkilisan selama ini. Selain itu, status Daniel Tangkilisan yang menyinggung pencemaran lingkungan akibat tambak udang adalah perbuatan yang dilakukan untuk melindungi kepentingan umum yang lebih besar terkait pelindungan lingkungan hidup.

Merespons kejanggalan-kejanggalan dalam Putusan No. 14/Pid.Sus/2024/Pn.Jpa tersebut di atas, ELSAM mendesak: 

  1. Komisi Yudisial (KY) segera memeriksa tiga hakim yang mengadili perkara Daniel Tangkilisan, terutama dikarenakan adanya kejanggalan sejak awal dalam memaksakan penggunaan pasal yang rumusannya sudah diubah, kekeliruan dalam penafsiran pasal ujaran kebencian, serta dugaan keterkaitan putusan ini dengan industri tambak udang yang mencemari lingkungan Karimunjawa. 
  2. Pengadilan Tinggi Semarang harus mempertimbangkan kembali perubahan terhadap pasal-pasal yang didakwakan terhadap Daniel Tangkilisan, dengan secara seksama memeriksa ulang fakta-fakta persidangan (judex factie) dalam kasus tersebut.
  3. Mahkamah Agung memberikan atensi serius pada penanganan perkara berdimensi teknologi informasi dan komunikasi, untuk memastikan kesesuaian penerapan hukum dalam setiap perkara yang ditangani, sehingga pengadilan tidak menjadi pintu gerbang bagi penghukuman terhadap kebebasan berekspresi.
  4. Mahkamah Agung perlu menyediakan panduan penanganan perkara berdimensi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menyediakan bimbingan teknis bagi para hakim di semua tingkatan peradilan, khususnya dalam mengadili kasus-kasus yang berdimensi kebebasan berekspresi dan berpendapat, baik yang melalui medium daring (online) maupun luring (offline).

Jakarta, 4 April 2024

PERS RILIS ELSAM

 

A R T I K E L T E R K A I T

Senin, 30 Agt 2021
Sahkan Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, Temukan yang Hilang
Minggu, 20 Mar 2022
Kriminalisasi yang dialami Fatia dan Haris selaku pembela Hak Asasi Manusia (HAM), menambah catatan buruk elit Pemerintah Indonesia saat ini.
+