Pemidanaan Daniel Tangkilisan, Bentuk Kriminalisasi Terhadap Ekspresi yang Sah
Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Karimunjawa

Pemidanaan Daniel Tangkilisan, Bentuk Kriminalisasi Terhadap Ekspresi yang Sah

Kamis, 28 Mar 2024

Siaran Pers ELSAM

Pemidanaan Daniel Tangkilisan, Bentuk Kriminalisasi Terhadap Ekspresi yang Sah 


Kasus kriminalisasi Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Karimunjawa, menambah deretan panjang tekanan terhadap kebebasan berekspresi. Kasus ini bermula saat Daniel mengunggah tulisan yang mengkritik pencemaran Pantai Cemara, Pulau Kemujan setelah 10 hari dibersihkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jepara, melalui sebuah postingan berisi: “Pantai Cemara, 10 November 2022 jam 14.24. 10 hari setelah pantai ini dibersihkan oleh DLH Jepara (konon katanya dengan dana 1M dari petambak yang diwajibkan membersihkan selama 20 hari) dan dikunjungi instansi-instansi setelah acara sosialisasi pembinaan petambak. Bagaimana menurutmu?”

Daniel Tangkilisan didakwa melakukan ujaran kebencian menurut Pasal 45A ayat (2) Juncto Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah menjadi UU No. No. 19 Tahun 2016 serta dakwaan alternatif telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 45 ayat (3) Juncto Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 19 Tahun 2016. Penerapan sejumlah pasal tersebut sebagai dasar pemidanaan, memperlihatkan kekeliruan hukum dalam penggunaan pasal ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, mengingat rumusan dan struktur kedua pasal tersebut telah diubah seiring dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU ITE. Langkah tersebut menyalahi asas-asas yang berlaku dalam disiplin ilmu hukum pidana dan menunjukkan upaya terang-terangan untuk menghalangi partisipasi publik dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup di Karimunjawa. 

Merespons pemidanaan terhadap Daniel Frits Maurits Tangkilisan, sebagai tambahan rujukan bagi Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), telah mengirimkan Amicus Brief, dalam kapasitas sebagai Amicus Curiae (sahabat pengadilan), berbasis pada keahlian ELSAM. Amicus Brief yang telah dikirimkan ELSAM kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jepara, mempertimbangkan setidaknya sejumlah aspek berikut: 

Pertama, adanya problem penerapan hukum, mengingat telah terjadi perubahan hukum pidana terkait dengan ketentuan pidana yang dikenakan terhadap terdakwa. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur bahwa “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu Tindak Pidana.” Pasal ini membatasi langsung larangan bahwa hukum pidana berlaku surut, sehingga memberikan efek retroaktif jika hukum yang lama tidak lebih meringankan. Hukum yang baru dapat digunakan untuk mengadili perbuatan yang telah terjadi selama proses penegakkan hukum sedang berlangsung, yang pada dasarnya, asas ini memberikan efek retroaktif only to non final judgments.

Oleh karena itu, pada kasus ini jaksa keliru menerapkan pasal pidana dalam kasus Daniel, sebab telah terjadi perubahan undang-undang sesudah perbuatan terjadi. Dengan demikian, yang berlaku terhadap kasus ini semestinya adalah UU No. 1 Tahun 2024 sebagai perubahan dari UU No. 19 Tahun 2016. Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP lama maupun Pasal 3 ayat (1) KUHP baru bahwa dalam perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi, digunakan undang-undang yang baru kecuali undang-undang lama lebih menguntungkan, sehingga semestinya dakwaan gugur demi hukum.

Kedua, ujaran yang disyiarkan oleh Daniel Tangkilisan tidak termasuk dalam kualifikasi ujaran kebencian (hate speech). Penerapan pasal pidana ujaran kebencian, termasuk Pasal 28 ayat (2) UU ITE, seharusnya tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP (lama), sebagai acuan untuk memeriksa unsur-unsurnya, dan sifatnya kumulatif bukan alternatif. Ketentuan Pasal 156 KUHP sendiri setidaknya memiliki empat unsur yang terdiri dari unsur di depan umum (in het openbaar), unsur menyatakan (uiting geven), unsur mengenai perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan (aan goverdens van uijandschap, haat atau minachting), serta unsur mengenai satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia (tegen een of meer groepen der bovelking van Indonesia).

Oleh sebab itu suatu ujaran dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian apabila terdapat niat jahat dari pelaku ujaran untuk mengajak memusuhi (incitement to hatred), mengajak mendiskriminasi (incitement to discriminate), dan ajakan melakukan kekerasan (incitement to violent), terhadap golongan-golongan penduduk tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan. Sedangkan ujaran yang disampaikan oleh Daniel jauh atau bahkan sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur tersebut.

Ketiga, unggahan Daniel Tangkilisan merupakan bagian dari ekspresi yang sah (legitimate expression) yang harus dilindungi. Kebebasan berekspresi melindungi semua bentuk ekspresi, termasuk yang substansinya berupa komentar kritis, gagasan yang bersifat sangat subjektif dan opini pribadi, yang disampaikan dengan menggunakan medium apa pun, termasuk internet. Prinsip kebebasan berekspresi pada dasarnya melindungi semua jenis informasi atau ide apa pun, termasuk dalam hal ini fakta, komentar kritis, atau  pun gagasan. Jadi termasuk  gagasan yang bersifat sangat subjektif  dan opini pribadi, berita ataupun informasi yang relatif netral, iklan komersial, seni, komentar yang lebih bersifat politis/kritis, bahkan materi pornografi sekalipun. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua bentuk komunikasi, baik lisan, tertulis, cetak, media seni, internet, serta media apa pun yang menjadi pilihan seseorang. Perlindungan tersebut ditujukan pada semua bentuk media:  radio, televisi, film, musik, grafis, fotografi, media seni, internet, juga kebebasan untuk melintas batas negara. 

Keempat, kriminalisasi Daniel Tangkilisan adalah tindakan yang bersifat diproporsional dari pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Pada dasarnya hukuman penjara untuk pencemaran nama baik adalah tidak diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis, dan bertentangan dengan jaminan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini sejalan dengan Komentar Umum No. 34 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menegaskan bahwa suatu UU yang mengatur tentang pembatasan kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar ketentuan non-diskriminatif dari Kovenan (ICCPR), dan yang paling penting adalah undang-undang tersebut tidak memberikan hukuman-hukuman yang tidak sesuai dengan Kovenan salah satunya adalah hukuman fisik.

Kelima, kriminalisasi terhadap Daniel Frits Maurits Tangkilisan adalah bentuk dari Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). ELSAM menemukan bahwa hingga Februari 2024, masih terdapat sisa limbah udang di sekitar Pantai Cemara, berupa lumut tebal dan tidak bisa terurai. Melihat kondisi ini, pernyataan Daniel dapat dikualifikasikan sebagai fakta yang dijamin kebenarannya, sehingga kriminalisasi terhadap Daniel dapat dikatakan sebagai bentuk SLAPP. Sebuah tindakan untuk membungkam upaya memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat. Oleh karenanya pengadilan semestinya dapat memperhatikan kembali dimensi SLAPP dan kebebasan berekspresi dalam kasus ini, serta melakukan koreksi terhadap kekeliruan penerapan hukum pidana. 

Pada akhirnya, Majelis Hakim dalam perkara ini adalah aktor paling penting sebagai penjaga terakhir (the last guardian) bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi, sekaligus asas-asas hukum pidana, yang dalam kasus ini dipertaruhkan konsistensinya dengan teori-teori pidana materiil maupun formil. Mengingat, asas fundamental yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mengenai asas transitoir/lex favor reo secara berani dan sembrono telah diabaikan dalam penanganan perkara ini. Padahal konsistensi antara praktik dan teori hukum pidana menjadi penting dalam perspektif disiplin keilmuan. Dengan seluruh argumentasi dan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas, sebagai bagian dari langkah penting bagi upaya untuk memastikan penikmatan pelaksanaan kebebasan berekspresi, yang dijamin oleh konstitusi—UUD 1945, semestinya Daniel Frits Maurits Tangkilisan dibebaskan dari seluruh tuntutan hukum. 

 

Jakarta, 27 Maret 2024

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

UNDUH AMICUS CURIAE

A R T I K E L T E R K A I T

Rabu, 27 Jul 2022
Pengusutan dan pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua tahun 2014 telah memasuki...
Jumat, 11 Nov 2022
Komitmen kewajiban internasional Indonesia dalam pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia kemarin dievaluasi untuk keempat kalinya.
+