Merumuskan Ulang Pengaturan Konten dalam Revisi UU ITE Mendesak Dilakukan
Ilustrasi UU ITE

Merumuskan Ulang Pengaturan Konten dalam Revisi UU ITE Mendesak Dilakukan

Minggu, 23 Jul 2023

Siaran Pers ELSAM

Merumuskan Ulang Pengaturan Konten dalam Revisi UU ITE Mendesak Dilakukan

 

Beberapa saat setelah dilantik, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), mengungkapkan wacana pembentukan badan pengawas media sosial, yang akan memantau konten-konten media sosial. Meski Menkominfo menjanjikan badan yang diusulkan ini akan tetap menjamin kebebasan berekspresi dalam operasionalisasinya, tetapi wacana ini sarat dengan permasalahan. Apalagi mengingat pengalaman periode sebelumnya, ketika Kemenkominfo berinisiatif membentuk panel konten internet—yang kurang lebih formatnya senada dengan usulan Menkominfo saat ini, dan terbukti tidak efektif, serta belum memadainya regulasi terkait tata kelola konten internet. Selain itu, sebagaimana kita ketahui, sejauh ini Kominfo juga sudah secara aktif melakukan pembatasan dan pemblokiran konten internet, melalui mekanisme layanan aduan konten. Problemnya, dari praktik yang ada, tindakan over blocking terhadap konten yang masuk kategori ekspresi yang sah (legitimate expression) masih acap terjadi.

Pembatasan konten internet, termasuk konten media sosial, baik melalui mekanisme penapisan maupun pemblokiran (filtering and blocking), memang boleh dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Akan tetapi dalam pembatasannya haruslah memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan hak asasi manusia. Salah satu kaidah formal dalam pembatasan adalah keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR, serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.

Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan list dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re-intepretasikan oleh regulator. Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan.

Selain memenuhi prinsip prescribed by law, pembatasan terhadap konten harus pula tunduk pada prinsip tujuan yang sah (legitimate aim), dan tindakan itu betul-betul mendesak diperlukan (necessity), juga tindakannya harus proporsional. Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), guna menghindari praktik pembatasan konten yang sewenang-wenang. Sayangnya, pengaturan pembatasan konten dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE, belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang dan ancaman bahayanya (harmfull), sehingga perlu dibatasi. UU ITE juga belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan, termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).

Lebih jauh dalam konteks peran dan tanggung jawab negara, secara ideal seharusnya pembatasan terhadap konten internet diaplikasikan oleh suatu badan independen, yang terbebas dari pengaruh politik, komersial atau lainnya, untuk memastikan tindakannya tidak semena-mena ataupun diskriminatif. Hal ini seperti ditegaskan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Prof. David Kaye (2018), yang menegaskan agar dalam membatasi konten internet harus merujuk pada perintah peradilan yang independen dan tidak memihak, atau suatu badan independen seperti halnya Dewan Pers, serta sesuai dengan proses dan standar legalitas, kebutuhan dan legitimasi. Model seperti ini juga telah diterapkan di beberapa negara, akan tetapi usulan pembentukan badan independen terkait dengan pengawasan konten internet di Indonesia, tentu akan sangat sulit diwujudkan, mengingat situasi politik hukum pembentukan lembaga negara saat ini.

Dalam konteks teknologi digital, harus pula dipahami, bahwa negara bukan lah satu-satunya aktor pengambil keputusan yang tersedia, dalam melakukan pembatasan terhadap akses konten. Dengan bertindak sebagai penyedia layanan (entah layanan jaringan internet ataupun layanan konten), korporasi sesungguhnya berperan lebih besar dalam melakukan kontrol terhadap informasi yang ada di internet. Karakteristik khusus dari internet menjadikan bekerjanya ekosistem ini untuk memastikan interoperabilitasnya, tidak hanya bertumpu pada satu atau dua aktor saja, tetapi melibatkan serangkaian aktor sekaligus. Berangkat dari pertimbangan ini, pembicaraan mengenai tanggung jawab perantara (intermediary) dalam pemanfaatan teknologi internet menjadi penting, yang disandarkan pada prinsip netralitas jaringan (net-neutrality). Hal itu untuk memastikan perlindungan pada kebebasan berpendapat, dengan mendorong penyedia layanan untuk menyediakan jaringan terbuka, dan tidak boleh menghalangi atau membeda-bedakan aplikasi atau konten yang ditransmisikannya.

Sedangkan ketentuan UU ITE saat ini justru memberikan wewenang yang terlalu besar bagi pemerintah dalam mengawasi dan membatasi konten internet, juga tidak mengatur lebih jauh mengenai prosedur dilakukannya pembatasan, serta mekanisme komplain dan pemulihannya. Prosedur mengenai pembatasan terhadap konten diatur melalui PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, dan terakhir ditindaklanjuti dengan Permenkominfo No. 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik Lingkup Privat. Keluarnya Permenkominfo No. 5/2020 sendiri telah menuai banyak polemik, karena dinilai tidak mampu menjawab persoalan dalam pembatasan konten internet, dan bentuk aturannya sendiri tidak legitimate. Mesti pula diingat, penapisan atau pemblokiran konten internet merupakan bagian dari arsitektur teknologi, yang terus mengalami perkembangan, sehingga beban untuk melakukan hal tersebut, semestinya lebih banyak diberikan pada platform, bukan pemerintah.

Pembentukan badan pengawas media sosial, apalagi menjadi bagian dari institusi pemerintah, hanya akan membuka ruang pengawasan massal (mass surveillance) terhadap media sosial, yang mengancam hak atas privasi, dan pada akhirnya mengurangi penikmatan kebebasan berekspresi, karena orang menjadi takut (chilling effect) untuk mengekspresikan opininya di media sosial. Oleh karenanya, dengan pertimbangan demikian, bukan menginisiasi pembentukan badan pengawas media sosial, Kemenkominfo semestinya dapat mendorong perbaikan rumusan pengaturan terkait konten dalam revisi UU ITE, dengan memperhatikan:

  1. Memperjelas rujukan konten-konten yang berbahaya (harmful), sehingga masuk kualifikasi melanggar hukum dan dapat dibatasi persebarannya.
  2. Memberikan tanggung jawab yang lebih besar pada platform atau penyelenggara sistem elektronik, untuk menyediakan kebijakan internal dan prosedur pengaduan konten dari pengguna, termasuk membentuk mekanisme internal untuk merespons aduan, dan memberikan keputusan membatasi atau tidak konten yang diadukan. Selain itu, platform juga perlu untuk menyediakan laporan transparansi (transparency report) yang dipublikasikan secara berkala, terkait dengan aduan yang diterimanya. Platform/PSE juga perlu didorong untuk mengembangkan arsitektur teknologi mereka untuk mengenali dan mencegah penyebaran konten-konten yang disinformatif.
  3. Kemenkominfo bertindak sebagai lembaga banding administratif, ketika pengadu tidak puas dengan keputusan platform/PSE, sehingga mengajukan banding kepada Kominfo, dan Kominfo mengeluarkan keputusan administratif, yang menerima atau menolak banding tersebut. Dengan menempatkan Kominfo sebagai lembaga banding administratif, aduan konten yang masuk ke Kominfo sudah terlebih dahulu tersaring di platform.
  4. Terhadap keputusan Kominfo, pengadu atau platform/PSE dapat mengajukan banding atau pengujian pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagai penjabaran dari prinsip judicial scrutiny. Putusan PTUN ini dapat menjadi putusan akhir, agar segera ada kepastian hukum atas konten yang diadukan.
  5. Platform/PSE yang tidak memenuhi serangkaian kewajiban di atas, termasuk mematuhi keputusan Kominfo atau putusan PTUN, dapat dikenakan sanksi administratif atau denda administratif.

 

Jakarta, 23 Juli 2023

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

 

Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi: Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif ELSAM), telepon: 081382083993, atau Parasurama Pamungkas (Peneliti ELSAM), telepon: 082232001783, atau Annisa N. Hayati (Peneliti ELSAM), telepon: 081344426673.

A R T I K E L T E R K A I T

Selasa, 15 Feb 2022
14 February 2022, We, Manushya Foundation, ALTSEAN-Burma, Cambodian Center for Human Rights (CCHR), the Institute of Policy Research...
Jumat, 7 Jan 2022
Berulangnya kasus kebocoran data tersebut semakin memperjelas fakta bahwa institusi publik pada umumnya belum siap untuk mengaplikasikan seluruh prinsip pelindungan data pribadi
+