Pembungkaman Kritisisme dengan Pidana Pencemaran Nama Baik, sebagai Tindakan Menebarkan Ketakutan (Chilling Effect)

Pembungkaman Kritisisme dengan Pidana Pencemaran Nama Baik, sebagai Tindakan Menebarkan Ketakutan (Chilling Effect)

Senin, 8 Agt 2016

Pembungkaman Kritisisme dengan Pidana Pencemaran Nama Baik, sebagai Tindakan Menebarkan Ketakutan (Chilling Effect)

Beberapa saat menjelang eksekusi mati Freddy Budiman, Haris Azhar—aktivis HAM KontraS—mengabarkan keterlibatan sejumlah oknum aparat pemerintah, termasuk oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), oknum Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam jaringan peredaran narkotika, melalui media sosial. Tulisan Haris Azhar yang didasarkan langsung dari penuturan Freddy Budiman tersebut memicu kontroversi, karena memperlihatkan betapa bobroknya penegakan hukum yang berujung pada praktik penghukuman yang semena-mena. Merespon pernyataan itu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berencana memanggil Haris Azhar, berdasarkan laporan dari Kepolisian, TNI dan BNN, atas tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Reaksi atas pernyataan Haris Azhar tersebut sesungguhnya memperlihatkan mentalitas opresif institusi pemerintah, yang merupakan warisan Orde Baru, yang sekaligus menunjukan masih belum selesainya reformasi kelembagaan. Mereka cenderung melanggengkan praktik pembungkaman, dengan memanfaatkan struktur hukum formal, terhadap sejumlah kritisisme publik. Pelaporan pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap Haris Azhar juga keliru secara hukum. Hukum pencemaran nama baik didefinisikan sebagai hukum yang bertujuan untuk melindungi orang dari pernyataan palsu atau fakta palsu yang menyebabkan kerusakan pada reputasi mereka. Tujuan utama hadirnya hukum pencemaran nama baik adalah untuk menjaga dan melindungi reputasi, martabat serta privasi seseorang (individu), bukan institusi, badan, atau suatu wilayah. Bahkan, hukum pencemaran nama baik harus dikatakan inkonstitusional jika dimaksudkan untuk melindungi perasaan pribadi.

Lebih jauh, Dewan HAM PBB, melalui Resolusi 12/16 telah menyatakan bahwa tindak pidana pencemaran nama baik, sebagai bagian dari praktik pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, seharusnya tidak pernah diterapkan pada pembahasan kebijakan pemerintah dan debat politik, termasuk kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pengungkapan korupsi di pemerintahan. Apalagi telah ditegaskan pula di dalam Prinsip-Prinsip Johannesburg 1996 tentang Keamanan Nasional, bahwa pembatasan terhadap hak asasi manusia untuk melindungi reputasi orang lain tidak dapat dipergunakan untuk melindungi negara dan pejabat negara dari kritik dan opini publik. Hal ini bersandar pada jaminan kebebasan di dalam Pasal 19 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang telah disahkan oleh Indonesia pada 2005 silam, bahwa setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan dari pihak lain.

Tanggapan sejumlah institusi di atas yang cenderung represif terhadap kritisisme merupakan pengkhianatan terhadap kewajiban internasional sekaligus konstitusional, yang melindungi setiap bentuk ekspresi dan pendapat. Bahkan, khusus pada ekspresi yang menggunakan medium internet—termasuk media sosial, baru-baru ini PBB mengumumkan declaration statement (A/HRC/32/L.20), pada awal Juli lalu, yang menegaskan bahwa pemajuan, perlindungan dan penikmatan hak atas kebebasan berekspresi di internet merupakan bagian dari hak dasar (basic human right). Perlindungan ini dimaksudkan karena kebebasan berekspresi di internet secara hakiki dinilai mampu merawat partisipasi warga negara dan masyarakat sipil, untuk mewujudkan pembangunan dan penikmatan terhadap hak asasi manusia di setiap komunitas. Pelaporan pidana di atas, terang merupakan praktik penyebaran ketakutan (chilling effect), yang berpotensi membungkam kritisisme masyarakat terhadap kemajuan dan perbaikan kinerja pemerintahan.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Jaringan Akademisi untuk Kebebasan Berekspresi pada akhirnya menilai, bahwa sikap yang ditunjukkan oleh institusi-institusi di atas, tak lebih dari sekedar pendangkalan (banalisasi) terhadap hakikat penegakan hukum ketimbang memfungsikan hukum sebagaimana yang seharusnya untuk mencapai cita hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami menyayangkan dan mengecam tindakan tersebut, sebagai suatu tindakan yang telah mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, sekaligus UUD 1945. Oleh karena itu kami mendorong untuk:

  1. Perlunya ketiga institusi di atas (Kepolisian, TNI, dan BNN) untuk mempertimbangkan kembali keputusan pelaporan atas tuduhan pidana penghinaan/pencemaran nama baik terhadap Haris Azhar tersebut;
  2. Pengungkapan informasi yang dilakukan oleh Haris Azhar semestinya bisa menjadi pintu masuk baru untuk melanjutkan reformasi penegakan hukum, sekaligus menuntaskan reformasi kelembagaan di ketiga institusi di atas;
  3. Perlunya Presiden Joko Widodo, sebagai pemimpin tertinggi atas ketiga institusi di atas, untuk memberikan instruksi tegas, perihal arah reformasi kelembagaan penegakan hukum, sebagai upaya mengembalikan kepercayaan publik, yang merupakan salah satu janji dari Nawacita;
  4. Perlunya mengevaluasi kembali kerangka peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 11/2008 tentang ITE, yang seringkali digunakan untuk melakukan praktik pembungkaman kritisisme dan penegasian partisipasi publik atas kinerja pemerintahan, sehingga mengancam perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Jakarta, 8 Agustus 2016

  1. Dr. R. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A. (Dosen Fak. Hukum UNAIR-Surabaya)
  2. Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. (Dosen Fak. Hukum UGM-Yogyakarta)
  3. Dr. Sintadewi Rosadi, S.H., LL.M. (Dosen Fak. Hukum UNPAD-Bandung)
  4. Dr. Lidwina Inge Nurtjahjo, S.H., M.H. (Dosen Fak. Hukum UI-Depok)
  5. Dr. Shinta Agustina, S.H., M.H. (Dosen Fak. Hukum UNAND-Padang)
  6. Masitoh Indriani, S.H., LL.M. (Dosen Fak. Hukum UNAIR-Surabaya)
  7. Stanley Adi Prasetyo (Dewan Pers)
  8. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  9. Haidar Adam, S.H., LL.M. (Dosen FH UNAIR/ Peneliti HRLS).
  10. Joeni Arianto Kurniawan, S.H., M.A. (Dosen FH UNAIR / Ketua Pusat Studi Pluralisme Hukum FH Unair)
  11. Rachminawati (Dosen FH Unpad)
  12. Manunggal K. Wardaya, S.H., LL.M. (Dosen FH Unsoed)
  13. Dian Noeswantari, MPAA (Pusham Ubaya Surabaya)
  14. Iman Prihandono, Ph.D (Dosen Fak. Hukum UNAIR)
  15. Muktiono, PPHD, UB, Malang
  16. Aloysia Vira Herawati, MA. (Pusham Ubaya, Surabaya)
  17. Majda Muhtaj, MH (Pusham Univ. Negeri Medan)
  18. Erlina, SH., MH. (FH Univ. Lambung Mangkurat)
  19. Siti Mary Rakhma, SH., MA. (FH Univ. President)
  20. Eko Riyadi, SH., MH. (PUSHAM UII, Yogjakarta)

Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Herlambang Perdana Wiratraman (Dosen FH UNAIR), telepon: 082140837025 atau Wahyudi Djafar (Peneliti ELSAM), telepon: 081382083993.

A R T I K E L T E R K A I T

Sabtu, 29 Jun 2002
Menguak Masa Lalu, Merenda Hari Depan: Komisi Kebenaran...
Senin, 20 Apr 2020
ELSAM mengajukan komentar tertulis ini kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh untuk memberikan pandangan dan sebagai wujud...
+